Halaman

Senin, 03 Februari 2014

Saat Cintamu Terasa Hambar untuk Diucap

Kakak tingkat itu, mempesona sekali. ramah, supple, aktivis kampus, dan calon mahasiswa cumlaude. Aku sebagai adik tingkat dan perempuan normal, merasa wajar saja jika aku diam - diam mengaguminya. Saat masa orientasi, ialah kakak tingkat yang paling baik dan tidak sok-senior diantara panitia yang lainnya. seringkali kami berpapasan, dan tidak jarang ia juga melempar senyum padaku. Tidak hanya padaku sih, karena ia memang baik pada setiap orang. Jadi menurutku, tidak heran jika banyak yang mengaguminya.

Sampai pada suatu saat, aku mengikuti salah satu organisasi yang juga diikuti olehnya. Ternyata, ia adalah salah satu petinggi organisasi tersebut. Waktu itu selisih usia kami 2 tahun, dan kami berbeda 1 angkatan. saat berada dalam lingkup kegiatan yang sama, aku merasakan ia jauh lebih baik jauh lebih ramah daripada yang kukira. Sifat simpatiknya, care, diplomatis, bijaksana, membuat kekagumanku bertambah kepadanya. suatu hari setelah melewati suatu event bersamaan, ia termenung di bangku taman. Aku menghampirinya.

     "Kak, kaka kenapa ? Ko diem aja sih dari tadi? gak biasanya banget", tanyaku setengah kepo. karena dari tadi aku memperhatikannya ia lebih pendiam dari biasanya.
     " Iya dek, gue diputusin cewek gue. Alesannya ga logic banget. Dia cemburu sama semua kegiatan gue.", jawabnya dengan wajah lesu.
     "Kaka sabar ya, kalo emang jodoh dia pasti bakal balik lagi ke kakak. Tanpa permasalahin apapun yang berhubungan sama kaka. kelemahan, atau banyaknya kegiatan kaka itu. Dia pasti bakal bisa terima", jawabku.

Ia menatapku, dalam sekali. Sampai mengubah kecepatan dari detakan jantungku. Lalu ia mengucapkan "makasih ya dek, sedikit banyak ucapan lo bikin gue tenang", sambil tersenyum. Manis sekali. Berlangsunglah percakapan yang cukup panjang antara kami, sampai kami lupa waktu bahwa hari mulai larut malam. Akhirnya ia bersikeras untuk mengantarku pulangh ke kostan karena rasa tanggung jawabnya sebagai kakak tingkat.

Tidak terasa, setahun sudah aku berkuliah di tempat yang sama dengannya. kami semakin dekat. Banyak acara yang sudah kami lewati bersama. Banyak wejangan yang ia telah berikan untukku. Banyak malam berbintang yang tanpa kita sadari, kita melewatinya, berdua. Selama setahun itu, kami berdua layaknya teman dekaat sekali, seperti sudah saling mengenal sejak kecil. Berbagi cerita, lewat apapun itu selalu kami lakukan. entah bertemu langsung, via telfon, sms, atau chatting. Bahkan, kami sampai membuat buku khusus untuk kami berdua. Cover-nya bertuliskan "DR", inisial kami. Jadi ceritanya, buku itu menjadi penghubung saat kami tidak bisa bertemu dalam waktu yang cukup. Kami mengungkapkan apapun disitu.

Suatu malam, saat aku termenung sendirian di kamar, tanpa pesan singkat yang ia kirimkan, aku merasa hampa. Hening. Gelisah . Khawatir. Aku sudah lama merasakan ini tapi selalu kulawan perasaan aneh itu. Entah apa namanya perasaan ini. mungkinkah aku mulai menyayanginya lebih dari sekedar sosok "kakak"? Sepertinya iya. Tapi aku, lagi - lagi mencoba menepis perasaan itu. Aku tidak boleh memiliki perasaan itu. Tidak! Aku tidak ingin kedekatan ini rusak seketika hanya karena perasaanku.

Tapi entah mengapa, semakin aku melawan rasa itu, semakin kuat rasa ingin memilikinya. Ya Tuhan, maafkan atas rasa yang tidak pada tempatnya ini. Aku merasa diriku semakin aneh. Aku mulai menjauhinya, karena takut. Takut sikapku berubah terhadapnya. Takut caraku menatapnya membuat ia menyadari bahwa ada rasa lain untuknya. Tapi ternyata, ia menyadari bahwa aku berubah. Aku mulai menjauhinya. Aku bukan lagi sosok yang ia kenal dulu. Dan ia, memintaku untuk tetap menjadi diriku yang dulu. Yang ia kenal. Yang rajin mendengarkan curhatannya. Yang rajin menumpahkan isi hati kepadanya tentang apa yang aku rasa.

Baiklah. Aku ikuti kemauannya, walaupun agak sulit sekarang. Kami menjalani hari - hari kami seperti dulu. Tapi tunggu, ada yang berubah kurasa. Ia menjadi semakin manis. Sikapnya yang semula blak - blakan tak tahu malu di hadapanku, kini berkurang sedikit. Dan entah mengapa, hal itu menambah rasa kagum yang berubah menjadi cinta kemudian menjadi sayang-ku padanya. Ingin sekali rasanya aku tahu, bagaimana perasaannya padaku. Mungkinkah ia akan membalas perasaanku untuknya? Hmm, tapi rasanya tidak mungkin. Kedekatan kami, memang cukup hanya sampai level sahabat, adik-kakak-an seperti yang waktu itu sedang nge-trend.

Kami, semakin dekat. Aku, semakin mencintainya. Sampai saat ini, ketika ia telah selesai menjalankan studinya, dan aku masih berstatus sebagai mahasiswa tingkat akhir. Kami mulai jarang bertemu, tetapi komunikasi tetap berjalan. Tahukah kamu, aku semakin tidak nyaman dengan perasaanku yang kian membuncah. Tiga tahun memendam perasaan bukanlah hal yang mudah, bukan ? :(

Aku, disini, bukan diam, pasrah, dan tanpa usaha melawan perasaan aneh itu. Ada dua orang yang pernah mendekatiku, tetapi sama sekali tidak kugubris. Karena aku tahu, pintu hati ini hanya terbuka untuknya. Iya, dia yang dulu selalu mengisi hatiku setiap harinya, sampai hari ini. Kasihan bukan, jika aku memberikan harapan palsu pada orang lain?

Satu orang lagi mendekatiku, yang memang kami telah saling mengenal dari tingkat satu. Sosok yang baik, soleh, cukup cerdas, dan rupawan. Kali ini lain. Aku berusaha membuka hatiku untuknya. Karena ia juga terlihat serius dan bukan hanya sekdear cinta-monyet yang ia berikan padaku. Setelah cukup lama menjalani pendekatan, akhirnya aku mengambil keputusan untuk menerimanya.

     "Biarkan aku yang mengisi hatimu. Walaupun aku belum menjadi bagian penuh dari relung di dalam sana"

Itu kata - katanya, yang ia katakan dengan penuh kesungguhan. Sambil menggenggam tanganku, erat sekali. sambil menatap mataku, dalam sekali. Saat itu aku begitu merasakan ketulusannya. Keinginannya untuk menjagaku. Dan aku mencoba meyakini hati kecilku. Ya, semoga inilah jalannya. Inilah caranya. Dialah orang yang Tuhan kirimkan untukku, untuk kucintai. Agar aku bisa sedikit demi sedikit menghilangkan perasaan salahku kepada kakak tingkatku itu.

Ya, kami berpacaran. Dua minggu. Hari itu, si kakak tingkat mengajakku untuk bertemu. Di suatu tempat, yang tidak biasa menurutku. Ia mengajakku ke sebuah taman yang biasanya berisi orang pacaran. Dari kejauhan aku melihatnya sedang duduk sendirian, mengenakan kemeja berwarna biru. Degup jantungku semakin cepat (lagi). Ya Tuhan, menga[pa sulit sekali rasanya mengubah perasaan cinta ini menjadi perasaan biasa. Tak lama, ia menyadari bahwa aku telah datang. Ia tersenyum selengean seperti biasanya dan menyuruhku untuk segera mendekat.

     "Kamu apa kabar? Sekarang jarang sms kakak ya. Sibuk?", tanyanya renyah sambil meatapku.
     "Hehe..iya kak. lagi banyak - banyaknya mata kuliah nih. makin susah", jawabku standar sampai tidak menyadari sapaan yang biasanya gue-lo, berubah menjadi kakak-kamu.

Begitulah, kami ngobrol seperti biasanya sampai satu jam berlalu. Kemudian wajahnya berubah dan ia menatapku lebih serius lagi.

     "Kamu udah punya pacar, dek?", tanyanya.
     "Iya, kak. Mmm, baru dua minggu", jawabku ragu.
     "Kenapa sih kamu gak pernah cerita sama kakak? kalo jawabannya kakak sibuk, kamu kan bisa sekedar chatting atau sms. nanti juga kakak baca. Ga pernahy kan kakak ga bales sms kamu walaupun agak telat?", katanya dengan nada agak meninggi tetapi tetap lembut.
     "I..iya maaf kak.. Aku cuma gak mau ganggu kakak aja. Lagian pacarannya baru kok. Aku emang niat udah kasih tau kakak nantinya. Lagian emang kenapa sih, gitu aja ngambek deh"
     "Kakak cuma gak mau kamu jatuh di tangan orang yang salah dek.. kamu tau kakak sayang kamu kan?", katanya serius, dalam sekali.

Aku tahu, "sayang" yang ia maksud adalah sayang sebagai adik. Tetapi entah mengapa jantungku seperti mau copot saat ia mengucapkan kata - kata tersebut. Aku terdiam sejenak, lalu mengumpulkan keberanian untuk menatap wajahnya .

     "Kak, dia orang baik kok. Aku berani nerima dia karena aku udah cukup lama kenal dia. Kakak jangan khawatir. Terus lagi, jangan ngambek dong gara - gara aku terlambat ngasih taunya", aku berkata dengan nada manja khas adik kepada kakaknya.
     "Dek, bagi kamu terlambat itu sepele. Bagi kamu dua minggu itu sebentar. Tapi beda bagi kakak. Beda Dek. Kamu pernah tau rasanya mendem perasaan selama tiga tahun, cuma berstatus adik-kakak-an sama orang yang kamu sayang? Pernah gak? Kamu pernah ngerasain ngejaga orang yang bener - bener spesial untuk kamu jadikan pendamping kamu nantinya selama tiga tahun, terus ternyata dia telat dua minggu untuk nyatain perasaannya? Kamu pernah gak, selama tiga tahun mencoba untuk memantasakan diri supaya bisa memiliki orang yang kamu sayang?", ia berkata, menunduk. dan aku, terdiam membisu. Tertusuk.

     "Itu kakak yang rasain Dek. Kakak sayang sama kamu dari mulai awal kita deket. Semua cerita - cerita kakak ke kamu, itu semata - mata sebagai jalan biar kita bisa selalu deket. Kakak coba tahan perasaan itu karena kakak takut kita malah jadi jauh. Kakak coba buat tetep ngejaga kamu sebagai adik kakak wlaupun rasa disini, di hati ini, udah lain. Rasa ingin memiliki sebagai pacar, bukan hanya sebagai adik. Kamu tahu, dua minggu lalu kakak sms kamu untuk ketemu, tapi kamu gak bales. Inget ? Itu adalah hari dimana kakak mau ungkapin semua rasa yang ada buat kamu selama ini dek. Tapi saat itu, kakak pikir mungkin memang belum waktunya. Ternyata, kakak tau dari orang lain, kalo kamu udah punya seseorang yang lain di hati kamu? kamu bisa bayangin rasanya jadi kakak gak dek ? Sakit, perih. Dan merasa jadi cowok paling bodoh. tiga tahun didepan mata, gak bisa dimilikin. dan terkalahkan sama orang lain. yang mungkin suka sama kamu jauh setelah kakak sayang sama kamu.", ia mengucapkan semuanya dengan sedih.

Aku juga. Aku bingung harus berbuat apa kala itu. Rasanya tidak percaya, selama ini kami saling mencinta, tapi hanya diam. Kami saling menyayangi, tapi mencoba menepis rasa itu. Beginilah jadinya. Cinta yang telah lama ada, taoi baru bisa diungkap saat segala sesuatunya telah terlambat. Aku masih merasakan getaran itu untuknya, cinta itu padanya. tapi aku telah memiliki dia yang lain. Yang tidak mungkin bisa kutinggalkan begitu saja setalah aku merasakan ketulusannya padaku.

     "Aku minta maaf kalo semua jadi jauh dari apa yang pernah kita perkirakan masing - masing. Aku minta maaf kalo pada akhirnya aku nyakitin kakak. Tapi satu yang harus kakak tau, aku lega banget. Karena orang yang aku cintai selama tiga tahun ternyata punya rasa yang sama buat aku. Aku cukup bahagia, karena rasa yang selama ini aku pendam memang gak bertepuk sebelah tangan. Aku cukup dapet pelajaran dari kasus ini, kalau sebenarnya gak baik menunda - nunda segala sesuatu. Aku nyesel kak, gak ngilangin gengsiku waktu itu untuk bilang ke kakak duluan. Tapi semuanya bukan buat disesali, hanya untuk dikenang mungkin."
     "Maksud kamu? Kamu juga punya rasa yang sama buat kakak?"
     "Bukan rasa lebih, bahkan rasa yang lebih besar daripada yang kakak punya ke aku mungkin. Aku belajar dewasa. gak selamanya cinta itu harus memiliki seutuhnya. Kita bisa saling mencinta tapi mungkin belum bisa bersama kak. Kakak bisa dapetin yang lebih dari aku. Yakin deh."
     "Iya kakak tau itu, kakak cuma mau bilang dek, kakak cinta sama kamu. kakak sayang sama kamu, sesungguhnya kakak pengen banget milikin kamu seutuhnya", ujarnya penuh harap.
     "Iya, dan aku mau bilang sama kakak. Saat ini, saat kakak ucapin semua kalimat yang aku harapkan selama tiga tahun, itu udah hambar kak. udah gak ada rasanya. Mungkin penantian aku terlalu panjang, pengharapan aku terlalu besar saat itu. Tapi kaka gak ngeliatin respon apapun. Dan saat ini, kata - kata itu udah hambar bagi aku."
     "Iya aku akuin aku salah. Semuanya terlambat bagi aku, dan kamu mungkin." Ia terdiam sejenak, menunduk, kemudian melanjutkan ucapannya, "Jika suatu saat kamu ingin kembali, kembalilah. Jika suatu saat kamu merasa jenuh, datang pada kakak. Gak akan ada kata terlambat buat kamu milikin hati kakak. walaupun terlambat bagi kakak buat milikin hati kamu".
    "....."






Tidak ada komentar:

Posting Komentar