Halaman

Sabtu, 22 November 2014

Cukuplah kematian menjadi peringatan untukku, untuk kita.

hari ini aku tersentak.
melihat sesosok tak berdaya yang wajahnya hanya ditutup oleh kardus bekas.
Darahnya mengalir dari tangannya yang tidak tertutup.
Kakinya menggunakan sepatu yg cukup menutupi mata kaki, yang didalanya juga diikuti oleh kaos kaki putih khas anak sekolah.
celananya mengingatkanku akan masa sekolah dulu.
Ya, celana pramuka yang sering dipai oleh teman laki-lakiku seriap hari kamis.
Sosok mayat itu ternyata adalah siswa SMP yang mengalam kecelakaan motor ketika hendak berangkat ke sekolah
Tak terbayangkan olehku bagaimana perasaan orang tuanya saat mengetahui nyawa anaknya telah terenggut oleh kecelakaan maut pagi itu.
Mungkin saja ia adalah anak satu-satunya yang menjadi kebanggaan dan harapan kedua orang tuanya.
Atau mungkin saja dia adalah seorangsiswa berprestasi yang kelak akan membawa nama baik diri, orang tua, sekolah, bangsa, dan negaranya.
Atau mungkin saja dia seorang anak yat yg kelak akan menjadi tulang punggung keluarga menggantikan ayahnya.
Ah, terlalu banyak kemungkinan yang membuat bulu kudukku meremang sesaat.
Betapa malangnya nasib anak itu.
Tapi apa mau dikata, Allah telah menggariskan takdirnya jauh sebelum ia terlahir di dunia.
Namun kematiannya, yang sering kali disebut sebagai "kiamat kecil/sugra" sedikit banyak menjadi pelajaran berharga bagiku.
Bahwa maut tidak mengenal usia, tidak memandang harta, tidak mengenai amalan, tetapi mengenai takdir.
Siapa saja bisa menghembuskan nafas terakhirnya kapanpun dimanapun
Yang membedakan adalah kesiapan menghadapi pertanyaan malaikat di akhirat kelak.
Masha Allah . Aku tersentak dan tiba-tiba merasa ketakutan.  
Teringat akan dosa-dosaku di hari kemarin, yang belum sempat aku tobati.
Baik dosa kecil maupun besar, baik disengaja maupun tidak.
YaAllah, ampuni hamba.
Cukuplah kematian menjadi peringatan bagi kami, bagi kita.
Bahwa ada kehidupan kedua setelah kehidupan dunia yang fana ini.
Bahwa segala apa yang telah kita perbuat akan dipertanggungjawabkan walaupun sekecil biji sawi.
Peristiwa kematian membuatku mengintrospeksi diriku sendiri.
Takutkah aku, siapkah aku akan kematian.
Allah, aku ingin menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Berikan aku kesempatan untuk membuat diriku menjadi muslimah yang toat padaMu, dan tidak melalaikan perintahMu.
YaAllah, jodohkanlah aku dengan pria yang tampan akhlaknya, yang baik budi pekerti dan paham agamanya.
Wahai calon imamku kelak, bantulah aku untuk mensholehahkan diriku.
Begitu pula kamu, sholehkanlah dirimu dan aku akan membantumu.
Karena sesungguhnya perempuan yg baik adalah untuk laki-laki yang baik.
Izinkan aku mencintaimu karena Allah.
Bimbing aku untuk tetap dijalan Allah yang lurus, kelak kita akan menjalaninya bersama.
 

Selasa, 22 April 2014

pelangi bernama "kamu" di balik hujan bernama "mereka"

Terkadang aku merasa ada sisi buruk dari kehiduan.
Ya, terkadang aku merasa diperlakukan tidak adil masalah percintaan.
Beberapa kali mencoba untuk menjalin hubungan, tetapi hasilnya adalah sama. 
NOL BESAR. 
Bahkan kalau aku boleh berlebihan sedikit, hasilnya minus, yang nilainya lebih besar daripada jumlah minus mata kanan dan kiriku.

Sering sekali aku merasa dikhianati, dan pernah dikhianati oleh sahabat yang kukira adalah teman terbaikku. Tidak adil, bukan?

“Selingkuh”  bukan lagi menjadi hal asing ditelingaku. Dan aku tahu persis, rasanya perih, sobat.

Kamu tahu, segelintir orang tidak mudah untuk jatuh cinta. Akan tetapi, setelah ia merasakan jatuh cinta, maka ia akan mencintai sepenuh hati.
Dan kamu tahu, aku termasuk pada segelintir orang itu.

Kemudian setelah mencintai sepenuh hati, sebagian orang seringkali disakiti sampai pada titik bahwa ia tidak mampu menangis. Karena air matanya hampir kering, terlalu sering disakiti.
Yang kamu harus tahu, aku juga termasuk pada sebagian orang itu.

Miris memang, tapi semakin dewasa akupun semakin sadar, bahwa Tuhan telah mengatur dengan sempurna apa - apa yang terjadi pada hamba-Nya, tidak terkecuali aku.
Tuhan juga berjanji tidak akan memberi cobaan di luar kemampuan hambaNya. Aku yakin Tuhan tidak akan ingkar janji.

Dan aku juga yakin sekali bahwa Tuhan memberikanku kekuatan yang sangat besar, hingga aku mampu bertahan walau disakiti berkali - kali.

Ada yang mengatakan “Kalau jodoh takkan kemana”. Well, aku akui kalau kalimat itu memang benar. Tapi seringkali aku hanya menjadikan kalimat itu sebagai“kalimat penghibur” saat aku sedang dilanda rasa kecewa. 

Tapi, kembali aku menyadari bahwa Tuhan adalah Maha Perencana yang paling baik.

Tuhan menghadirkan kesedihan terlebih dahulu, agar aku bisa mensyukuri betapa nikmatnya suatu kebahagiaan.
Tuhan menunjukkan orang yang salah, agar aku tahu betul insan mana yang patut untuk dicinta.

Dan kini, aku bersyukur sekali. Penantianku tidak sia-sia.
Saat ia datang dalam hidupku, yang memberi warna dan tawa di hariku.
Yang bukan lagi sosok lelaki penuh gombal dengan beberapa tangkai mawar setiap minggunya, beberapa lusin coklat setiap bulannya, dan beberapa jenis boneka yang ia berikan.
Sesungguhnya bukan itu yang aku mau, dan aku yakin semua wanita tidak mengharapkan itu semua sebagai “hobby” yang perlu dipasok oleh pasangan .

Karena yang aku butuh adalah kasih sayang, ketulusan, kedawasaan, dan keseiusan.
Dengan begitu, sifat sifat  lain  seperti  tanggung  jawab , pengertian, saling menghargai,  juga akan senantiasa tercipta dalam suatu  hubungan.

Dan kalian perlu tahu, ia adalah orangnya.

InsyaAllah, aku yakin bahwa ia adalah orang yang Tuhan kirimkan untuk mengisi kekosongan hidupku, untuk mengobati lukaku, untuk mendampingiku menuju jalan-Nya yang lurus. Aamiin!

Dia yang datangnya tidak pernah direncanakan, dia yang membuatku jatuh cinta tanpa aku mengerti apa sebabnya. Dia yang membuatku mampu mencintaikekurangannya. Dia yang mampu mencintai dan menutupi kekurangan yang akumiliki.

Subhanallah, Maha Suci Allah dengan segala kehendakNya, dengan segala kuasaNya.

Dia juga yang serius untuk menjalin hubungan denganku. 

Dia yang berani mengenalkanku pada orang tuanya, keluarga besarnya, sahabat, dan teman-temannya. Dalam pertemuan itu seakan tersirat kalimat “Dia yang kelak akan menjadi pendampingku, yang akan menjadikanku imam baginya, dan ayah untuk anak-anaknya.”

Dia yang tak hanya mencintaiku, tapi juga semua kelemahan dan segala kelebihanku. Juga keluargaku, yang dengan berani ia temui tanpa ada ragu sedikitpun. Seakan sambil berkata “Aku akan menjadikan putrimu sebagai pendamping hidupku, yang akan selalkkujaga senyum dan bahagianya. Maka izinkanlah aku untuk memilikinya.”

Wahai calon pendamping hidupku,
Tiada yang bisa kulakukan kecuali bersyukur kepadaNya, Zat yang Maha pemberi cinta, yang mengalamatkan cinta kita untuk bertemu di suatu waktu yang tak terduga. Caraku bersyukur adalah menjagamu, perasaanmu, dan berjanji tak akan mengecewakanmu, yang dititipkan olehNya padaku.

Wahai calon imamku,
Aku tahu bahwa akan ada saatnya dimana pagi adalah menjadi yang paling dinanti, karena di pagi hari ada sebuah wajah rupawan yang kutunggu senyumnya, dan itu adalah senyum yang terpancar dari bibirmu.

Akan ada waktunya dimana senja adalah menjadi hal yang indah, karena akuakan menyambutmu pulang dengan secangkir teh hangat.

Akan ada pula masanya dimana malam adalah menjadi saat yang paling membahagiakan, karena sebelum terpejam ada rona indah dari wajahmu yang kucinta, dan ketika pagi menjemput, rona itulah yang kutemui berada tepat disampingku. 

Akan ada harinya, bahwa hanya satu nama yang terlintas dibenak kecilku, akan ada satu helaan nafas yang akrab ditelingaku, dan satu detakan jantung yang iramanya kuhafal dengan betul. Semua adalah milikmu, mas.

Percayalah saat itu akan datang, jika Tuhan telah memberikan waktunya. Jika tangan Tuhan mulai bekerja untuk menyatukan kita dalam ikatan suci.
Aku akan sabar menunggu hari itu, sambil terus berdoa untukku, untukmu, dan untuk kita.


Dari aku yang begitu mencintai pemberian Tuhan, bernama kamu <3 :) 

Senin, 31 Maret 2014

H I D U P

Hidup adalah hidup berdasarkan pandanganmu sendiri
Terkadang indah, bahagia, susah, senang, sulit, duka, apalah itu namanya. Semuanya menghampiri, tidak dapat dipungkiri.
Jika kamu memandang hidup ini hanya dari segi kesulitan, maka kamu tak akan pernah bersyukur.
Yang kamu tahu hanyalah mengeluh dan mengeluh.
Dan yang harus kamu tahu, mengeluh hanya mengotori hatimu, tidak menyelesaikan masalahmu.
Jika kamu memandang hidup ini hanya dari segi kebahagiaan, maka kamu akan membuang waktumu untuk tidak ingat pada Tuhanmu. Zat yang memberimu hidup, yang memberimu rezeki hingga saat ini.
Maka, pandanglah hidup dari berbagai sisi. Sisi yang kamu mau. Sisi yang mungkin bisa menjadikanmu lebih mensyukuri arti hidup ini.
Banyak yang mengatakan "Hidup hanya sekali, jangn dibuat susah".
Terkadang tidak perlu kita yang membuat susah pun, kesusahan akan menghampiri. Karena itulah bumbu kehidupanmu.
Ya, memang benar hidup hanya sekali. Di dunia ini, di alam yang fana.
Namun kamu, aku, kita semua harus tahu, ada kehidupan setalah duniawi.
Kehidupan yang nyata, yang sebenarnya, yang kekal, abadi.
Amalanmu, buruk dan baik kelak akan diperhitungkan.
Maka, sebelum berbicara, membuat keputusan, dan bertindak, pikirkanlah dengan sebaik mungkin.
Dan berpikir bukan hanya menggunakan otakmu, tapi sertakan juga nurani dan kefahaman agamamu.
Kita harus ingat, tidak ada sedikitpun amalan yang akan terlewat untuk dihitung.
Maka berhati-hatilah dengan setiap inchi perjalanan hidupmu.
Sampai bertemu di kehidupan yang lain :')

Rabu, 26 Maret 2014

SEMPAT, PERNAH, MASIH.

"Oke, all memory has successfully deleted"
Ada rasa perih melanda ketika ia mengucapkan kalimat itu, lebih tepatnya saat ia mengirimkan kalimat itu melalui pesan singkat kami.
Kamu perlu tahu, kalian perlu tahu, kalau rasa itu masih ada.
Ya, bahkan sampai saat aku memintanya untuk melupakan apa yang pernah terjadi antara kami.

Kadang aku pun membingungkan semuanya. Ya, semua yang terjadi antara kami.
aku tidak pernah tahu kapan rasa hormatku padanya berubah menjadi rasa sayang.
Aku tidak pernah menghitung sejak kapan kami sering chatting, sampai-sampai kalau salah satu tidak membalas, komunikasi berpindah melalui sms.
Aku tidak pernah menyadari mengapa aku begitu rela menyegarkan mata hingga larut malam, hanya untuk sekedar chatting dengannya. Padahal, terkadang isi dari obrolan kami tidak bermutu sama sekali -_-.
Ia sering menyebutkan bahwa "isi chat kita itu kebanyakan alaynya".
Tapi yang aku tahu, rasa nyaman mengalahkan segalanya.

Pertama kali terbersit bahwa memang ada "apa-apa" diantara kami adalah, saat ia mulai menyebutkan bahwa ia merasa nyaman untuk hanya sekedar chatting dan berbagi cerita denganku.
Curhat, tertawa, bercanda, serius, gila-gilaan, adalah keseharian kami.
Sempat pula ia mengatakan bahwa ia memang pernah menyukaiku sejak pertama kali bertemu. Aku sendiri pun tidak tahu kapan pastinya. Beberapa tahun lalu mungkin. Saat keangkuhan masih menjadi image-nya di mataku.
Tapi nyatanya, semua pandanganku terhadapnya adalah tidak semua benar.
Ia tidak seangkuh yang kubayangkan, tidak sesombong yang kukira. Dan ia baik sekali, teramat sangat bahkan.
Sejak itulah rasa "aneh" dalam kalbu ini muncul.

Banyak sekali yang ia ajarkan padaku, kedewasaan, profesionalitas dalam bekerja, kesabaran, bagaimana cara bersikap, banyaaaak sekali. Dan aku menganggapnya benar - benar menjadi pengalaman berharga dalam hidup.
Kedewasaannya membuatku kagum, kemandiriannya membuatku berdecak.
Pribadinya membuatku merasakan sesuatu, lebih dari sekedar kagum.

Kami memang kebanyakan menghabiskan waktu untuk bercanda.
Tapi tidak sedangkal itu.
Dibalik semua bercandaan kami, banyak sekali hal kecil sampai besar yang tersirat. Termasuk mengenai hubungan kami.
Memang banyak sekali permasalahan, perbedaan tepatnya. Yang paling jelas adalah perbedaan usia.
7 tahun memang bukan perbedaan yang terlalu jauh, tetapi pandangan orang lain, pandangan orang tua bisa jadi lain lagi.

Entah dari mana awalnya, hubungan kami mulai tercium oleh orang tua dan keluarga dekatku.
Beberapa diantara mereka merasa baik - baik saja, beberapa lainnya menentang, bahkan melarang.
Berat. Sakit.
Dan yang paling jelas, aku tidak mengerti harus mengatakan apa padanya.
Karena aku sendiri pun tidak bisa memungkiri, bahwa rasa itu benar adanya.

Sampai pada suatu saat, aku mengutarakan keragu-raguanku tentang hubungan kami.
Ia beberapa kali meyakinkan bahwa kita memang harus mencoba, berusaha, bersama.
Tapi aku tahu persis bagaimana respon orang-orang terdekatku kelak.
Kami masih tetap menjalani hubungan kami seperti biasa.
Sampai akhirnya, aku memutuskan untuk menyerah. Aku ingin mundur saja.
Lagi - lagi, aku yakin bahwa ia merasa kecewa dan tersakiti mungkin oleh perkataanku.
Akhirnya ia pun menyerah.
Ia pun meng-iya-kan apa yang menjadi keputusanku.
Ya, keputusan yang hanya mengedepankan logika dan perasaan orang - orang terdekatku, sampai - sampai mengesampingkan perasaanku dan dia.

Hening.
Jarang sekali ada komunikasi.
Mungkin hampir tidak pernah.

Yang harus kamu tahu, yang harus kalian tahu, dan yang harus dia tahu.

Pena itu masih terus mengalirkan tinta, menuliskan namanya.
Jantung itu masih tetap berdegup kencang, jika bertemu dengannya.
Kali ini, aku tidak sanggup untuk menatap matanya.
Ya, mata yang pernah menjadi bagian dariku. Mata yang sering menatapku dalaaam sekali.
Ya Tuhan, perih sekali rasanya :'(
Saling menyayangi tetapi tidak bisa memiliki itu, lebih sakit daripada cinta bertepuk sebelah tangan.

Mungkin ini yang dinamakan takdir.
Rasa terima kasih harus kuutarakan pada semua pihak, mungkin.
Keadaan mengajarkanku untuk tegar, untuk ikhlas, dan untuk bersabar.
Walaupun pada saat itu aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak tahu harus mencurahkan isi hatiku kemana dan pada siapa.
Satu - satunya yang kuketahui adalah, aku harus tetap berjalan.




Terima kasih untuk rasa yang pernah kau tanam selama ini.
Terima kasih untuk sekian bulan yang begitu berkesan
Terima kasih telah menjadi salah satu pemeran utama dalam drama kehidupanku.
Terima kasih atas dimensi lain yang pernah kau toreh, yang membekas . Disini, di hatiku.

Selasa, 18 Februari 2014

---

Tuhan...
Mengapa harus ada pertemuan antara aku dengannya
Jika pada akhirnya Engkau menakdirkan kami untuk berpisah?
Mengapa pula Engkau harus menghadirkan dia
yang terlihat seperti sosok putih dihadapanku
tetapi ternyata adalah sosok kelabu, bahkan hitam
yang tak terlihat hitamnya, tetapi nyata adanya.

Tuhan...
Jika aku harus memilih,
Lebih baik aku meminta padaMu agar tak bahagia bersamanya di awal
Daripada harus bersakit di akhir.
Mengapa Tuhan?
Mengapa harus ada yang terluka dibalik semua kebahagiaan yang tercipta?

Tuhan...
Aku tahu bahwa semuanya sudah terlambat,
apa yang Engkau kehendaki telah menjadi kenyataan dan menimpaku.
Bolehkah aku meminta Tuhan?
Agar Engkau membiarkan aku bahagia, walau tanpanya.
Tanpa ia yang kau hadirkan dahulu, untuk mengisi penuh relung hatiku.

Tuhan...
Maafkan jika aku banyak mengeluh,
Aku hanya ingin untuk tidak tersakiti lagi dan lagi,
Bolehkah kembali aku meminta Tuhan?
Agar Engkau menghilangkan semua kenanganku tentangnya
Agar aku mampu menata kehidupanku di masa depan.

Tuhan...
Terlepas dari semua sakit yang kurasa,
aku tetap bersyukur padaMu yang Maha Luhur.
Terima kasih telah menghadirkannya,
yang mengajarkanku tentang arti kebahagiaan,
yang memberiku rasa sakit.
Agar aku tahu caranya lebih dekat denganMu.

Tuhan...
Kini aku sadar,
Tidak ada cinta yang abadi kecuali cinta kepadaMu
Tidak ada tempat berserah kecuali kepadaMu, Ya Rabb.

Senin, 03 Februari 2014

Saat Cintamu Terasa Hambar untuk Diucap

Kakak tingkat itu, mempesona sekali. ramah, supple, aktivis kampus, dan calon mahasiswa cumlaude. Aku sebagai adik tingkat dan perempuan normal, merasa wajar saja jika aku diam - diam mengaguminya. Saat masa orientasi, ialah kakak tingkat yang paling baik dan tidak sok-senior diantara panitia yang lainnya. seringkali kami berpapasan, dan tidak jarang ia juga melempar senyum padaku. Tidak hanya padaku sih, karena ia memang baik pada setiap orang. Jadi menurutku, tidak heran jika banyak yang mengaguminya.

Sampai pada suatu saat, aku mengikuti salah satu organisasi yang juga diikuti olehnya. Ternyata, ia adalah salah satu petinggi organisasi tersebut. Waktu itu selisih usia kami 2 tahun, dan kami berbeda 1 angkatan. saat berada dalam lingkup kegiatan yang sama, aku merasakan ia jauh lebih baik jauh lebih ramah daripada yang kukira. Sifat simpatiknya, care, diplomatis, bijaksana, membuat kekagumanku bertambah kepadanya. suatu hari setelah melewati suatu event bersamaan, ia termenung di bangku taman. Aku menghampirinya.

     "Kak, kaka kenapa ? Ko diem aja sih dari tadi? gak biasanya banget", tanyaku setengah kepo. karena dari tadi aku memperhatikannya ia lebih pendiam dari biasanya.
     " Iya dek, gue diputusin cewek gue. Alesannya ga logic banget. Dia cemburu sama semua kegiatan gue.", jawabnya dengan wajah lesu.
     "Kaka sabar ya, kalo emang jodoh dia pasti bakal balik lagi ke kakak. Tanpa permasalahin apapun yang berhubungan sama kaka. kelemahan, atau banyaknya kegiatan kaka itu. Dia pasti bakal bisa terima", jawabku.

Ia menatapku, dalam sekali. Sampai mengubah kecepatan dari detakan jantungku. Lalu ia mengucapkan "makasih ya dek, sedikit banyak ucapan lo bikin gue tenang", sambil tersenyum. Manis sekali. Berlangsunglah percakapan yang cukup panjang antara kami, sampai kami lupa waktu bahwa hari mulai larut malam. Akhirnya ia bersikeras untuk mengantarku pulangh ke kostan karena rasa tanggung jawabnya sebagai kakak tingkat.

Tidak terasa, setahun sudah aku berkuliah di tempat yang sama dengannya. kami semakin dekat. Banyak acara yang sudah kami lewati bersama. Banyak wejangan yang ia telah berikan untukku. Banyak malam berbintang yang tanpa kita sadari, kita melewatinya, berdua. Selama setahun itu, kami berdua layaknya teman dekaat sekali, seperti sudah saling mengenal sejak kecil. Berbagi cerita, lewat apapun itu selalu kami lakukan. entah bertemu langsung, via telfon, sms, atau chatting. Bahkan, kami sampai membuat buku khusus untuk kami berdua. Cover-nya bertuliskan "DR", inisial kami. Jadi ceritanya, buku itu menjadi penghubung saat kami tidak bisa bertemu dalam waktu yang cukup. Kami mengungkapkan apapun disitu.

Suatu malam, saat aku termenung sendirian di kamar, tanpa pesan singkat yang ia kirimkan, aku merasa hampa. Hening. Gelisah . Khawatir. Aku sudah lama merasakan ini tapi selalu kulawan perasaan aneh itu. Entah apa namanya perasaan ini. mungkinkah aku mulai menyayanginya lebih dari sekedar sosok "kakak"? Sepertinya iya. Tapi aku, lagi - lagi mencoba menepis perasaan itu. Aku tidak boleh memiliki perasaan itu. Tidak! Aku tidak ingin kedekatan ini rusak seketika hanya karena perasaanku.

Tapi entah mengapa, semakin aku melawan rasa itu, semakin kuat rasa ingin memilikinya. Ya Tuhan, maafkan atas rasa yang tidak pada tempatnya ini. Aku merasa diriku semakin aneh. Aku mulai menjauhinya, karena takut. Takut sikapku berubah terhadapnya. Takut caraku menatapnya membuat ia menyadari bahwa ada rasa lain untuknya. Tapi ternyata, ia menyadari bahwa aku berubah. Aku mulai menjauhinya. Aku bukan lagi sosok yang ia kenal dulu. Dan ia, memintaku untuk tetap menjadi diriku yang dulu. Yang ia kenal. Yang rajin mendengarkan curhatannya. Yang rajin menumpahkan isi hati kepadanya tentang apa yang aku rasa.

Baiklah. Aku ikuti kemauannya, walaupun agak sulit sekarang. Kami menjalani hari - hari kami seperti dulu. Tapi tunggu, ada yang berubah kurasa. Ia menjadi semakin manis. Sikapnya yang semula blak - blakan tak tahu malu di hadapanku, kini berkurang sedikit. Dan entah mengapa, hal itu menambah rasa kagum yang berubah menjadi cinta kemudian menjadi sayang-ku padanya. Ingin sekali rasanya aku tahu, bagaimana perasaannya padaku. Mungkinkah ia akan membalas perasaanku untuknya? Hmm, tapi rasanya tidak mungkin. Kedekatan kami, memang cukup hanya sampai level sahabat, adik-kakak-an seperti yang waktu itu sedang nge-trend.

Kami, semakin dekat. Aku, semakin mencintainya. Sampai saat ini, ketika ia telah selesai menjalankan studinya, dan aku masih berstatus sebagai mahasiswa tingkat akhir. Kami mulai jarang bertemu, tetapi komunikasi tetap berjalan. Tahukah kamu, aku semakin tidak nyaman dengan perasaanku yang kian membuncah. Tiga tahun memendam perasaan bukanlah hal yang mudah, bukan ? :(

Aku, disini, bukan diam, pasrah, dan tanpa usaha melawan perasaan aneh itu. Ada dua orang yang pernah mendekatiku, tetapi sama sekali tidak kugubris. Karena aku tahu, pintu hati ini hanya terbuka untuknya. Iya, dia yang dulu selalu mengisi hatiku setiap harinya, sampai hari ini. Kasihan bukan, jika aku memberikan harapan palsu pada orang lain?

Satu orang lagi mendekatiku, yang memang kami telah saling mengenal dari tingkat satu. Sosok yang baik, soleh, cukup cerdas, dan rupawan. Kali ini lain. Aku berusaha membuka hatiku untuknya. Karena ia juga terlihat serius dan bukan hanya sekdear cinta-monyet yang ia berikan padaku. Setelah cukup lama menjalani pendekatan, akhirnya aku mengambil keputusan untuk menerimanya.

     "Biarkan aku yang mengisi hatimu. Walaupun aku belum menjadi bagian penuh dari relung di dalam sana"

Itu kata - katanya, yang ia katakan dengan penuh kesungguhan. Sambil menggenggam tanganku, erat sekali. sambil menatap mataku, dalam sekali. Saat itu aku begitu merasakan ketulusannya. Keinginannya untuk menjagaku. Dan aku mencoba meyakini hati kecilku. Ya, semoga inilah jalannya. Inilah caranya. Dialah orang yang Tuhan kirimkan untukku, untuk kucintai. Agar aku bisa sedikit demi sedikit menghilangkan perasaan salahku kepada kakak tingkatku itu.

Ya, kami berpacaran. Dua minggu. Hari itu, si kakak tingkat mengajakku untuk bertemu. Di suatu tempat, yang tidak biasa menurutku. Ia mengajakku ke sebuah taman yang biasanya berisi orang pacaran. Dari kejauhan aku melihatnya sedang duduk sendirian, mengenakan kemeja berwarna biru. Degup jantungku semakin cepat (lagi). Ya Tuhan, menga[pa sulit sekali rasanya mengubah perasaan cinta ini menjadi perasaan biasa. Tak lama, ia menyadari bahwa aku telah datang. Ia tersenyum selengean seperti biasanya dan menyuruhku untuk segera mendekat.

     "Kamu apa kabar? Sekarang jarang sms kakak ya. Sibuk?", tanyanya renyah sambil meatapku.
     "Hehe..iya kak. lagi banyak - banyaknya mata kuliah nih. makin susah", jawabku standar sampai tidak menyadari sapaan yang biasanya gue-lo, berubah menjadi kakak-kamu.

Begitulah, kami ngobrol seperti biasanya sampai satu jam berlalu. Kemudian wajahnya berubah dan ia menatapku lebih serius lagi.

     "Kamu udah punya pacar, dek?", tanyanya.
     "Iya, kak. Mmm, baru dua minggu", jawabku ragu.
     "Kenapa sih kamu gak pernah cerita sama kakak? kalo jawabannya kakak sibuk, kamu kan bisa sekedar chatting atau sms. nanti juga kakak baca. Ga pernahy kan kakak ga bales sms kamu walaupun agak telat?", katanya dengan nada agak meninggi tetapi tetap lembut.
     "I..iya maaf kak.. Aku cuma gak mau ganggu kakak aja. Lagian pacarannya baru kok. Aku emang niat udah kasih tau kakak nantinya. Lagian emang kenapa sih, gitu aja ngambek deh"
     "Kakak cuma gak mau kamu jatuh di tangan orang yang salah dek.. kamu tau kakak sayang kamu kan?", katanya serius, dalam sekali.

Aku tahu, "sayang" yang ia maksud adalah sayang sebagai adik. Tetapi entah mengapa jantungku seperti mau copot saat ia mengucapkan kata - kata tersebut. Aku terdiam sejenak, lalu mengumpulkan keberanian untuk menatap wajahnya .

     "Kak, dia orang baik kok. Aku berani nerima dia karena aku udah cukup lama kenal dia. Kakak jangan khawatir. Terus lagi, jangan ngambek dong gara - gara aku terlambat ngasih taunya", aku berkata dengan nada manja khas adik kepada kakaknya.
     "Dek, bagi kamu terlambat itu sepele. Bagi kamu dua minggu itu sebentar. Tapi beda bagi kakak. Beda Dek. Kamu pernah tau rasanya mendem perasaan selama tiga tahun, cuma berstatus adik-kakak-an sama orang yang kamu sayang? Pernah gak? Kamu pernah ngerasain ngejaga orang yang bener - bener spesial untuk kamu jadikan pendamping kamu nantinya selama tiga tahun, terus ternyata dia telat dua minggu untuk nyatain perasaannya? Kamu pernah gak, selama tiga tahun mencoba untuk memantasakan diri supaya bisa memiliki orang yang kamu sayang?", ia berkata, menunduk. dan aku, terdiam membisu. Tertusuk.

     "Itu kakak yang rasain Dek. Kakak sayang sama kamu dari mulai awal kita deket. Semua cerita - cerita kakak ke kamu, itu semata - mata sebagai jalan biar kita bisa selalu deket. Kakak coba tahan perasaan itu karena kakak takut kita malah jadi jauh. Kakak coba buat tetep ngejaga kamu sebagai adik kakak wlaupun rasa disini, di hati ini, udah lain. Rasa ingin memiliki sebagai pacar, bukan hanya sebagai adik. Kamu tahu, dua minggu lalu kakak sms kamu untuk ketemu, tapi kamu gak bales. Inget ? Itu adalah hari dimana kakak mau ungkapin semua rasa yang ada buat kamu selama ini dek. Tapi saat itu, kakak pikir mungkin memang belum waktunya. Ternyata, kakak tau dari orang lain, kalo kamu udah punya seseorang yang lain di hati kamu? kamu bisa bayangin rasanya jadi kakak gak dek ? Sakit, perih. Dan merasa jadi cowok paling bodoh. tiga tahun didepan mata, gak bisa dimilikin. dan terkalahkan sama orang lain. yang mungkin suka sama kamu jauh setelah kakak sayang sama kamu.", ia mengucapkan semuanya dengan sedih.

Aku juga. Aku bingung harus berbuat apa kala itu. Rasanya tidak percaya, selama ini kami saling mencinta, tapi hanya diam. Kami saling menyayangi, tapi mencoba menepis rasa itu. Beginilah jadinya. Cinta yang telah lama ada, taoi baru bisa diungkap saat segala sesuatunya telah terlambat. Aku masih merasakan getaran itu untuknya, cinta itu padanya. tapi aku telah memiliki dia yang lain. Yang tidak mungkin bisa kutinggalkan begitu saja setalah aku merasakan ketulusannya padaku.

     "Aku minta maaf kalo semua jadi jauh dari apa yang pernah kita perkirakan masing - masing. Aku minta maaf kalo pada akhirnya aku nyakitin kakak. Tapi satu yang harus kakak tau, aku lega banget. Karena orang yang aku cintai selama tiga tahun ternyata punya rasa yang sama buat aku. Aku cukup bahagia, karena rasa yang selama ini aku pendam memang gak bertepuk sebelah tangan. Aku cukup dapet pelajaran dari kasus ini, kalau sebenarnya gak baik menunda - nunda segala sesuatu. Aku nyesel kak, gak ngilangin gengsiku waktu itu untuk bilang ke kakak duluan. Tapi semuanya bukan buat disesali, hanya untuk dikenang mungkin."
     "Maksud kamu? Kamu juga punya rasa yang sama buat kakak?"
     "Bukan rasa lebih, bahkan rasa yang lebih besar daripada yang kakak punya ke aku mungkin. Aku belajar dewasa. gak selamanya cinta itu harus memiliki seutuhnya. Kita bisa saling mencinta tapi mungkin belum bisa bersama kak. Kakak bisa dapetin yang lebih dari aku. Yakin deh."
     "Iya kakak tau itu, kakak cuma mau bilang dek, kakak cinta sama kamu. kakak sayang sama kamu, sesungguhnya kakak pengen banget milikin kamu seutuhnya", ujarnya penuh harap.
     "Iya, dan aku mau bilang sama kakak. Saat ini, saat kakak ucapin semua kalimat yang aku harapkan selama tiga tahun, itu udah hambar kak. udah gak ada rasanya. Mungkin penantian aku terlalu panjang, pengharapan aku terlalu besar saat itu. Tapi kaka gak ngeliatin respon apapun. Dan saat ini, kata - kata itu udah hambar bagi aku."
     "Iya aku akuin aku salah. Semuanya terlambat bagi aku, dan kamu mungkin." Ia terdiam sejenak, menunduk, kemudian melanjutkan ucapannya, "Jika suatu saat kamu ingin kembali, kembalilah. Jika suatu saat kamu merasa jenuh, datang pada kakak. Gak akan ada kata terlambat buat kamu milikin hati kakak. walaupun terlambat bagi kakak buat milikin hati kamu".
    "....."






Sabtu, 25 Januari 2014

Mungkin Ini Rasanya Merelakan :')

Aku mengagumimu, Kak. Semenjak awal kita bertemu. Saat senioritas masih sangat kental waktu itu. Saat kamu masih menganggapku sebagai anak ingusan yang tidak tahu apa – apa, yang manja, yang bisanya hanya merepotkan orang lain. Sejak saat itu aku sudah mulai mengagumimu.

Aku mencintaimu dalam diam, Kak. Apalagi saat itu kita sudah saling bercerita satu sama lain. Tentangmu, tentangku, keluargamu, keluargaku, masa lalumu, masa laluku. Kita akrab sekali kala itu, seperti matahari dan siang. Tanpa ada ragu untuk berbicara tentang itu semua. Karena kita sama – sama mengetahui, aku dan kamu akan menjaga sebaik – baiknya cerita itu. Tanpa kamu sadari, aku mulai mencintaimu.

Lalu aku belajar, belajar mendalami lebih jauh. Apakah ini hanya jatuh cinta sesaat, atau memang lebih jauh ; aku menyayangimu. Aku hampir tidak bisa membedakan rasanya suka, kagum, cinta, dan sayang. Yang aku tahu, aku takut kehilangan kabar darimu. Aku takut kehilangan kesempatan untuk mendengar ceritamu. Aku takut tidak ada waktu lagi untuk melihat wajah tampanmu. Kamu benar, aku belum cukup dewasa untuk menafsirkan rasaku sendiri. Mungkin ini rasa sayang.

Kita seringkali menghabiskan waktu bersama, saat denting bel istirahat terdengar, tak lama kemudian kamu ada di depan kelasku. Lalu kita, terkadang hanya melakukan hal absurd namun menyenangkan. Bagaimana tidak, siswa SMA yang terkadang sudah bisa dibilang beranjak dewasa, masih bermain-main suit China di taman sekolah dan tertawa lepas berdua seolah tidak ada yang melihat. Itu menyenangkan bagi kita yang merasakan, tapi menyebalkan bagi orang yang melihat kita, mungkin.

Aku ingat, sore itu kamu datang ke rumahku. Dan menyampaikan hal yang begitu membuatku tercengang. Yang tidak ingin kudengar. Yang mendengarnya seperti menelan kopi tanpa gula. Pahit. Yang mendengarnya seperti mengiris jariku sendiri. Perih.

“Aku harus kembali padanya”, kamu berucap dengan tak sedikitpun menatap mataku. Bagaimana mungkin aku bisa mempercayai ucapan tersebut.
           “Dia? Yang berkali – kali menyakitimu itu Kak? Yang dengan terang – terangan menggandeng laki – laki lain yang jauh lebih layak darimu menurutnya? Yang pernah melayangkan tamparan diwajahmu?”, aku berkata setangah hati. Tidak percaya.
            “Ya, dia. Cinta pertama yang membuatku sulit sekali untuk melupakannya”
            “…”
       “Kamu berperan penting dalam hidup aku. Kamu pernah mengajarkanku bahagia. Kamu pernah mengajakku tertawa lepas tanpa memedulikan sekeliling. Kamu pernah mengajarkan aku tentang arti mencintai seseorang dengan tulus. Tanpa alasan. Hanya dengan kalimat yang simple, : aku mencintaimu. Walaupun tidak tersirat”,

         Hening. Hanya ada suara detik jarum jam yang terdengar menjadi amat cepat bagiku saat itu. Hatikulah yang berbicara, apakah ia mengetahui bahwa aku mencintainya?

            “Aku mengerti ini pahit untuk kamu. Aku tahu kamu menyayangiku, lebih dari perasaan antara kakak dan adik. Awalnya juga aku mengira demikian. Tapi ternyata, setelah aku telisik lebih jauh. Tidak lain aku hanya menganggapmu adik. Yang polos, yang menyenangkan, yang bisa membuatku tertawa kapan saja, dengan hal apa saja, dimana saja. Dan aku tidak ingin kehilangan sosok adik sepertimu”.
        “Darimana kamu bisa tahu perasaanku ini?”, aku menjawab lirih padamu yang sudah mulai berani menatap mataku.
        “Dari matamu. Dari ucapanmu. Dari caramu menatapku, caramu mendengarkan ceritaku, caramu menanggapi keluh kesahku. Aku tau, ada cinta dihatimu. Ingin sekali aku membalasnya, namun aku tak mau menyakitimu dengan kebohongan. Aku menyayangimu, dik”.

            Aku tahu kamu mengatakannya dengan tulus. Aku juga menyayangimu Kak, lebih dari seorang kakak. Ingin rasanya aku mengungkapkannya, tapi aku tahu ini terlambat. Aku hanya diam. Membisu. Membeku. Dalam harap, semua perkataanmu tadi dusta. Dalam angan, bahwa ini semua hanyalah mimpi. Dalam ingin, untuk tidak menitikkan air mata sedikitpun. Sungguh aku tidak ingin terlihat lemah dihadapannya yang aku cintai.

Tetapi dalam sekejap aku langsung tersadar. Semua yang kamu katakana adalah benar adanya. Kamu memang tidak memiliki rasa yang lebih untukku. Aku juga sadar bahwa semua ini nyata, bukan angan atau mimpi. Dan aku gagal untuk menahan butir bening dari mataku yang perlahan jatuh. Setetes demi setetes.

Kamu menatapku dalam sekali. Sampai – sampai aku yang tadinya sok kuat menjadi ciut untuk menatap mata indah milikmu itu. Kamu menggenggam tanganku erat. Hangat. Rasanya aku tidak ingin melepaskannya. Ada semburat kesedihan di wajahmu yang penuh pesona itu. Aku juga bisa merasakan kata maaf yang tersirat darimu. Sakit sekali rasanya, namun aku harus realistis bukan?

“Aku rela melepas kamu buat dia. Asalkan kamu yakin, Kak. Bahwa dia benar – benar serius dan tidak ada niatan sedikitpun untuk menyakitimu lagi”. Aku yakin suaraku bergetar saat itu.
“Aku janji, apapun yang terjadi aku akan tetap datang padamu. Seperti biasa, kita saling bercerita. Pahit dan manis kita yang tahu, bukan?”, lengkungan bibirmu menunjukkan senyum manis sekali, walaupun getir.

Bagiku pahit memang. Mengapa bukan aku yang membuat lengkungan lembiut di bibirmu itu terukir kembali? Mengapa bukan aku yang membuatmu jatuh cinta hingga tidak ingin lepas? Mengapa bukan aku yang menjadi tempatmu bersandar sebagi orang yang kamu cintai? Mengapa?

“Berjanjilah untuk menjaga hatimu sendiri, Kak. Jangan kamu sakiti dengan cinta butamu itu”, aku berkata sedikit jahat memang.
“Aku berjanji untuk selalu menjaga hatiku dan hatinya. Aku tidak akan menyakiti keduanya”.

Deg. Hancur rasanya hati ini begitu mendengar ucapanmu. Mengapa bukan hatiku yang kau jaga, Kak? Maaf, aku begitu mencintaimu.

Aku terdiam saat itu. Tidak ingin bicara sepatah katapun. Dan aku membiarkanmu pergi untuk kembali padanya. Aku merasakan hati ini benar – benar hampa. Seolah tidak ada lagi hal penting yang harus aku pikirkan. Yaa, sadarkah kamu, hati dan pikiranku, semua tersita oleh bayangmu? Sadarkah?

        Aku memakluminya. Mungkin dia memang lebih pantas untukmu. Jelas dia sudah mengenalmu jauh sebelum aku mengenalmu. Tapi aku tak habis pikir, mengapa dia tega mengkhianatimu? Dan perlu kamu tahu, aku menyayangimu jauh lebih besar daripada rasanya untukmu. Karena rasanya untukmu bisa terukur. Hanya sebatas ketampanan dan kekayaan semata. Sudah kamu buktikan sendiri, kan? Dia meninggalkanmu untuk laki – laki lain?

        Sudahlah. Mungkin memang ini jalannya. Lama kelamaan, rasanya seperti ampas kopi tanpa gula. Pahit, tapi hambar. Mungkin ini rasanya merelakan. Mungkin sudah saatnya aku belajar mengikhlaskan. Namun aku bersumpah dalam hati, jika suatu saat kamu kembali padaku, aku akan senantiasa membuka hatiku untukmu. Dan, jika esok tak ada lagi, aku akan menunggumu di kehidupan yang lain. Untuk menjadi pasangan abadiku kelak. Semoga.



dari aku
adik yang mencintai kakaknya.

Yang menunggu kamu untuk kembali.